Apa itu supersemar, supersemar adalah, isi supersemar, surat perintah sebelas maret

Surat perintah sebelas maret atau yang lebih dikenal sebagai Supersemar adalah surat perintah yang dibuat dan ditanatangani oleh Presiden Soekarno. Surat tersebut diserahkan kepada Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan Indonesia. 

Apa isi SUPERSEMAR ?

secara garis besar jika isi dari Supersemar adalah pemberian wewenang dari presiden Soekarno kepada Soeharto. Ada tiga wewenang yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada Soeharto adalah sebagai berikut. 

  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. 
  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya. 
  3. Melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

Pada saat itu, pasca peristiwa 30 September 1965, Indonesia mengalami situasi yang tidak kondusif. Keluarnya Supersemar merupakan awal dari pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Setelah Supersemar ditandatangani oleh Soekarno, esoknya tanggal 12 Maret 1966, Soeharto segera mengambil beberapa tindakan yang mengejutkan Soekarno. 

Bagi Soekarno Supersemar adalah perintah pengendalian keamanan termasuk keamanan presiden dan keluarganya. Namun Soekarno kecolongan dengan kata-kata yang disusunnya sendiri, yaitu “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”. Padahal perintah dalam militer harus punya batas-batas yang tegas, termasuk dalam pelaksanaannya.

Menurut bung Karno sendiri, Supersemar bukanlah transfer of authority (pengalihan kekuasaan). Amir Machmud yang membawa surat itu dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta langsung berkesimpulan sebaliknya, bahwa surat itu berisi pengalihan kekuasaan. 

Esoknya, dengan mengacu pada surat itu, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa Soeharto mengambil tindakan yang mengejutkan Soekarno, yaitu membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan pasukan Tjakrabirawa (yang terdiri dari sekitar 400 anggota pasukan yang loyal kepada presiden), dan mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD). 

Tidak hanya sebatas keterangan di atas saja tindakan Soeharto yang mengejutkan, ia juga memanggil Sidang Umum MPRS IV untuk meminta laporan pertanggungjawaban (progres report) Presiden Soekarno. Dalam sidang itu Presiden Soekarno membacakan pidatonya yang berjudul Nawaksara. Isi dari pidato tersebut memuat sembilan poin, yaitu : 

  1. Retrospeksi, 
  2. Landasan kerja melanjutkan pembangunan, 
  3. Hubungan politik dan ekonomi, 
  4. Detail ke DPR, 
  5. Tetap demokrasi terpimpin, 
  6. Merintis jalan ke arah pemurnian pelaksanaan UUD 1945, 
  7. Wewenang MPR dan MPRS, 
  8. Kedudukan presiden dan wakil presiden, 
  9. Penutup.

Dari kesembilan poin tadi ternyata menurut MPRS, Nawaksara bukanlah sebuah progres report. Sidang Umum IV MPRS saat itu mengnginkan pertanggungjawaban Presiden Soekarno dalam menyelesaikan masalah pemberontakan G30S serta kemrosotan ekonomi dan akhlak di negeri ini. Maka dari itu, MPRS mengeluarkan TAP MPRSno. 5/MPRS/1966 dengan keputusan meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban tersebut.

Ketika Presiden Soekarno membuat pelengkap laporan pertanggung jawaban, Soeharto segera mengambil tindakan cepat atau sering disebut serangan kilat untuk menggeser kedudukan Soekarno, yaitu dengan cara membubarkan kabinet dwikora dan membentuk kabinet ampera. 

Sebelum melakukan pembubaran kabinet, Soeharto juga telah melakukan penangkapan anggota DPRGR/MPRS pendukung Presiden Soekarno, dan menggantinya dengan orang-orang pendukung Soeharto. Jadi para anggota MPRS yang ikut dalam Sidang Umum MPRS sebagian besar adalah orang-orang pendukung Soeharto, sehingga memudahkan Soeharto untuk melancarkan serangannya.

Presiden Soekarno menyerahkan pelengkap laporan pertanggungjawabannya yang dikenal dengan Pelnawaksara (Pelengkap Nawaksara) pada tanggal 10 Januari 1967. Kemudian tanggal 20 dan 21 Januari 1967 diadakan musyawarah guna membahas pelnawaksara atau dikenal ketika pembahasan itu sebagai Surat Presiden no. 1/Pres/1967. 

Inti dari musyawarah itu adalah pimpinan dan badan pekerja MPRS menolak laporan pertanggungjawaban presiden karena dinilai bahwa presiden Soekarno alpha dalam memenuhi ketentuan ketentuan konstitusionil dan surat presiden no. 1/Pres/1967 hanya sekedar suatu jawaban atas nota pimpinan MPRS no. 2/Pimp.MPRS/1966.

Setelah itu diadakan Sidang Istimewa MPRS tanggal 7-12 Maret 1967. Dalam sidang itu dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu : 

  1. Presiden masih meragukan keseharusannya untuk memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS sebagaimana telah ditentukan oleh keputusan MPRS no. 5/MPRS/1966. 
  2. Pelnawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi presidium kebinet ampera dan para panglima angkatan bersenjata. 

Khusus untuk kesimpulan yang pertama, presiden dalam Pelnawaksara telah menyebutkan bahwa dirinya tidak terlibat dalam aksi G30S. Ia juga sudah memberikan dukungan pada para angkatan bersenjata untuk menghukum orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut, salah satu dukungannya yaitu dengan dibangunnya pengadilan Mahmilub (mahkamah militer luar biasa). 

Satu pertanyaan yang membuat presiden tetap menolak pertangguangjawaban mengenai masalah G30S adalah mengapa hanya dirinya yang harus bertanggung jawab terhadap masalah itu, di mana orang-orang yang harusnya ikut bertanggung jawab. 

Akhirnya pada Sidang Istimewa tersebut diputuskan untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatannya sebagai presiden. Dalam sidang tersebut juga telah mengangkat Soeharto sebagai presiden sebagaimana yang tertuang dalam Tap no. 33/MPRS/1967 tanggal 12 Maret 1967. Presiden Soekarno dapat diistilahkan telah mengalami silent coup, dengan memakai panggung konstitusional sebagai alatnya.  

Hinga saat ini keberadaan supersemar yang asli masih menjadi tanda tanya. Para peneliti sejarah masih berusaha mengungkap kebenaran yang sesungguhnya dari SUPERSEMAR. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya versi sejarah supersemar yang beredar di masyarakat. 

Terlepas dari berbagai kontroversi yang mengiringi sejarah SUPERSEMAR, sudah selayaknya kita untuk berpikir kritis dan terus mencari fakta kebenaran agar tidak menimbulkan hoax yang merugikan masyarakat.