Dr. Oen adalah salah satu dokter yang berperan penting dalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan berhasil diraih, beliau tetap melanjutkan perjuangannya dalam membantu kesehatan masyarakat. Kepergiannya menghadap sang pencipta meninggalkan duka yang mendalam bagi banyak orang, terutama warga Solo, Jawa Tengah.
Masa Kecil dan Pendidikan Dr. Oen Boen Ing
Dr. Oen memiliki nama asli Oen Boen Ing. Beliau lahir pada tanggal 3 Maret 1903 di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Karena lahir dengan angka serba 3, maka dr. Oen menjadikan angka 3 sebagai angka favoritnya. Praktik dr. Oen dimulai jam 03.00 pagi, nomor telepon rumahnya adalah 3333, bahkan bangunan pertama di Rumah Sakit Panti Kosala yang didirikannya, dinamai Triganda, dan diresmikan pada 3 Maret 1963.
Dr. Oen merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Oen Hwie An dan Tan Tjiet Nio. Orang tuanya adalah seorang pedagang tembakau yang terkemuka di Salatiga, Jawa Tengah. Ayahnya memiliki aset yang terdiri dari perkebunan dan pengeringan tembakau, mulai dari Salatiga hingga Wonosobo. Beliau juga merupakan cucu seorang sinshe Tionghoa yang juga suka menolong banyak orang. Terinspirasi dari kakeknya inilah, dr. Oen akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang dokter.
Ketika menginjak usia 5 tahun, Dr. Oen sering menginap di rumah kakeknya. Di rumah itulah tiap hari ia memperhatikan kakeknya mengobati orang sakit. Di usia 7 tahun, dr. Oen muda sudah mampu menghapal nama jenis tanaman herbal dan obat-obatan yang diracik kakeknya. Ia juga hapal urutan laci pengobatan kakeknya.
Dr. Oen juga sering membantu kakeknya melayani pasien yang sakit, seperti memanggil masuk pasien, memapah pasien, dan membantu memberikan pelayanan. Kakeknya tidak pernah meminta bayaran. Ia menempatkan kotak untuk pasien membayar semampunya. Filosofi kakeknya yang diajarkan pada dr. Oen muda bahwa, “Tuhan memberikan rezeki pada kita selama tangan kita melayani, selama hati kita dipenuhi rasa cinta”. Itulah pesan kakeknya yang diingat terus oleh dr. Oen.
Dr. Oen memulai pendidikannya dari Hollandsch Chineesche School (HCS) Salatiga. Ia kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Semarang, dan kemudian melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Setelah lulus AMS, dr. Oen muda ingin melanjutkan ke sekolah kedokteran. Namun keinginannya ditentang oleh keluarga.
Sang ayah ingin dr. Oen muda melanjutkan bisnis keluarga. Karena keinginan yang kuat untuk menjadi dokter, akhirnya dr. Oen muda akhirnya diperbolehkan melanjutkan ke sekolah kedokteran. Ia bersekolah di sekolah kedokteran STOVIA di Batavia.
Selama belajar di STOVIA, dr. Oen aktif terlibat dalam perhimpunan pelajar sekolah menengah Tionghoa bernama Chung Hsioh. Di organisasi itu ia terlibat berbagai diskusi kritis tentang perpolitikan Hindia Belanda. Dr. Oen juga sempat melayani di Jang Seng Ie (sekarang Rumah Sakit Husada) sebagai sekretaris pada 1929. Ketika itu poliklinik tersebut sedang berada di titik terendah akibat serangkaian konflik internal dan krisis ekonomi dunia.
Peran Dr. Oen Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Dr. Oen lulus dari STOVIA pada tahun 1932. Ia memulai tugas pertamanya sebagai dokter di Kediri, Jawa Timur. Dr. Oen membantu praktek di Poliklinik Gie Sing Wan yang berada di bawah perkumpulan Hua Chiao Tsien Ning Hui (HCTNH) Kediri. Seperti kebanyakan poliklinik Tionghoa pada umumnya, keberlangsungan Poliklinik Gie Sing Wan sangat bergantung pada besarnya sumbangan yang masuk dari para donatur atau dari iuran pengurusnya.
HCTNH berperan penting sebagai pencari dana guna memastikan agar poliklinik tersebut bisa beroperasi. Di Kediri ia bertemu dengan Corrie Djie Nio, yang kelak dipersuntingnya pada 16 November 1934. Setelah enam tahun melayani masyarakat di Kediri, dr. Oen dan istrinya kemudian memutuskan untuk melanjutkan pengabdiannya di Surakarta.
Di Surakarta, dr. Oen bertugas di Ziekenzorg (sekarang RSUD Dr. Moewardi Surakarta). Di Surakarta ini dr. Oen mulai menggagas berdirinya sebuah klinik yang mengabdi kepada kemanusiaan. Tak lama kemudian berdiri Hua Chiao Tsin Nien Hui atau Perhimpunan Pemuda Tionghoa. Dari perhimpunan inilah kemudian lahir Poliklinik Tsi Sheng Yuan, yang kemudian dikenal dengan nama Poliklinik Panti Kosala, yang artinya : "Penolong Kehidupan". Kelak Poliklinik Panti Kosala berubah nama menjadi Rumah Sakit dr. Oen Surakarta, atau sering juga dikenal sebagai Rumah Sakit dr. Oen Kandang Sapi.
Sampai dengan tahun 1942, poliklinik Tsi Sheng Yuan banyak membantu Chineesche Burger Organisatie (CBO). Ketika masa pendudukan Jepang, poliklinik dikelola oleh Kakyo Sokai (Gabungan Organisasi-Organisasi Tionghoa). Ketika perang kemerdekaan datang, poliklinik berubah fungsi menjadi rumah sakit darurat, menampung para pejuang dan pengungsi. Sejak tahun 1944, dr. Oen diangkat sebagai dokter pribadi Istana Mangkunegaran. Beliau juga banyak membantu para pejuang kemerdekaan di zaman revolusi.
Menurut tirto.id, selama masa perang kemerdekaan di Surakarta, dr. Oen banyak mengobati pejuang dan pengungsi yang terluka, tanpa pandang bulu. Kedekatannya dengan pihak Republik membuatnya dimata-matai Belanda. Dalam laporan Netherlands East Indies Forces Intelligence Service (NEFIS/Dinas Intelijen Tentara Belanda) bertajuk “Doktoren te Soerakarta” (24 Desember 1948), nama Dr. Oen termasuk salah satu dokter yang mendapat pengawasan khusus. Laporan itu mendeskripsikan Dr. Oen sebagai salah satu dari sedikit dokter yang beroperasi di Solo selama perang kemerdekaan.
Dr. Oen mengobati pasien miskin tanpa memungut biaya sepeserpun. Ia juga membantu para tentara Republik di masa Revolusi.
Dr. Oen pernah menjadi dokter untuk Rode Kruis (Palang Merah) dan juga pimpinan dari Rumah Sakit Darurat Jebres. Sosok Dr. Oen digambarkan sebagai figur yang “ontzettend populair bij alle bevolkingsgroepen” (sangat terkenal di seluruh lapisan masyarakat) dan “erg behulpzaam” (sangat penolong). Dalam kesehariannya, dr. Oen dapat menerima lebih dari 200 pasien di rumahnya, lebih dari setengahnya bahkan dilaporkan tidak perlu membayar biayanya sepeser pun.
Kepopuleran dr. Oen di kalangan pejabat Republik membuatnya mendapat pasokan listrik 24 jam setiap hari. Hal ini nampak istimewa jika dibandingkan dengan penduduk lain yang hanya mendapatkan jatah empat hari aliran listrik per minggu. Selain itu dr. Oen juga mendapat kendaraan pribadi. Seluruh fasilitas tersebut memang diperlukan Dr. Oen untuk menunjang profesinya sebagai dokter yang harus terus mengobati pasien.
Dr. Oen dikenal juga karena jasanya ketika menyelundupkan penisilin bagi Jenderal Soedirman yang saat itu tengah menderita TBC. Tindakan tersebut tergolong sangat berani, karena jika pihak Belanda sampai mengetahuinya, maka akan mendapatkan sanksi yang berat.
Kepedulian dr. Oen Terhadap Masyarakat Kecil
Dr. Oen sangat peduli dengan kondisi masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu. Ia membuka praktek di rumahnya di wilayah Pasar Legi Solo. Dr. Oen selalu membuka Praktik jam 03.00 pagi. Dokter Oen senang dengan angka 3, sesuai dengan tanggal kelahirannya yang serba 3, yaitu angka 3 Maret 1903. Angka 3 dalam filosofi Cina memiliki arti "berlari" atau "mengubah." Dr. Oen memiliki prinsip mengubah dari yang sakit menjadi sehat.
Orang-orang susah seperti tukang becak, pedagang kecil, tukang sapu jalanan, kuli pasar semuanya berobat ke dr. Oen. Di pojok ruang praktek ada kotak uang. Pasien yang berobat memasukkan uang semampunya di kotak uang tersebut. Hal ini ia lakukan sama dengan kakeknya. Apabila tahu pasiennya adalah orang miskin, ia selalu bertanya, "Naik apa kesini?" Bila dijawabnya naik becak, maka ia sendiri yang membayari ongkos becak si sakit. Dr. Oen ikhlas membantu pasien siapapun orangnya tanpa memandang status sosial.
Akhir Hayat Dr. Oen
Sejak April 1977, kondisi kesehatan dr. Oen terus menurun. Beliau menderita stroke berkepanjangan hingga pada akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 30 Oktober 1982. Dr. Oen berpulang dalam usia 79 tahun di Rumah Sakit Telogorejo, Semarang, pada pukul 08.30. Jenazahnya kemudian diperabukan pada hari Jumat, 5 November 1982 di Krematorium Thiong Ting, Surakarta. Sebelumnya jenazah disemayamkan di rumah sakit yang ia rintis, Rumah Sakit Panti Kosala pada pukul 08.00 pagi.
Ketika mendengar kabar bahwa dr. Oen meninggal dunia, ribuan rakyat Solo, terutama tukang becak, pedagang pasar, tukang parkir, bakul batik menyambangi dr. Oen. Mereka berbaris-baris melambaikan tangan saat jenazah dr. Oen melewati Jalan Slamet Riyadi. Ribuan orang menangis menyaksikan dr. Oen yang sudah dianggap sebagai pahlawan mereka.
Penghargaan
Atas segala jasa Dr. Oen bagi Pura Mangkunegaran, beliau dianugerahi gelar Kandjeng Raden Toemenggoeng (KRT) Oen Boen Ing Darmoehoesodo pada tanggal 11 September 1975. “Selama Dr. Oen Boen Ing memberikan pelayanan kesehatan kepada kami sekeluarga, putra sentana, dan pegawai atau karyawan Dinas Urusan Puro Mangkunegaran, beliau tidak pernah bersedia menerima imbalan jasanya,” ucap Mangkunegara VIII, seperti yang dikutip dari laman tirto.id.
Dr. Oen pun menjadi dokter Tionghoa pertama yang menerima pengharagaan tersebut. Gelar ini kemudian dinaikkan menjadi Kandjeng Raden Mas Toemenggoeng (KRMT) pada tanggal 24 Januari 1993, dan diberikan langsung oleh Mangkunegara IX kepada perwakilan keluarga Dr. Oen.
Semoga perjalanan dan kisah seorang Dr. Oen menjadi inspirasi bagi para dokter di masa sekarang, terutama tindakannya dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat tanpa memandang siapa mereka.
*Nama Dr. Oen diabadikan menjadi nama rumah sakit di daerah Surakarta.
Diintisarikan dari sumber : droensolobaru.com, tirto.id, id.wikipedia.org
Post a Comment
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan Baik dan Sopan
1. Tidak diperkenankan menautkan Link Aktif di Kolom Komentar.
2. Dilarang beriklan dalam Komentar.
Komentar berkualitas dari anda sangat penting bagi kemajuan Blog kami.