Awal Mula Berdirinya Organisasi SDI (Cikal bakal SI)
Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada mulanya adalah kumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di kota Surakarta pada tahun 1905. Adapun tujuan awal untuk menghimpun para pedagang asli Indonesia Muslim, khususnya pedagang batik, agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Timur Asing, khususnya para pedagang Cina.
Pada saat itu usaha milik pedagang-pedagang Cina telah lebih maju dan memiliki hak status yang lebih tinggi dari pada penduduk lokal asli. Kebijakan yang sengaja dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut kemudian menyebabkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi.
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya.
Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiah di Batavia. Pada tahun 1910, R.M Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg (sekarang Bogor).
Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).
Perubahan Nama SDI menjadi SI
Pada tahun 1912, oleh pimpinan baru yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
- Mengembangkan jiwa dagang.
- Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
- Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
- Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
- Hidup menurut perintah agama.
Alasan Perubahan atau penggantian nama dari SDI ke SI adalah agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan, dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim.
Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda. Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI
berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Pecahnya Sarekat Islam
SI yang mengalami perkembangan pesat kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914.
Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil.
Mereka kemudian menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Dengan usaha yang baik mereka berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen.
SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme. Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:
- Central Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen adalah ketua SI Semarang.
- Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik. Semaoen juga memimpin ISDV dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.
- Akibat dari Perang Dunia I hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV.
- Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonial sejak tahun 1870 dan wabah pes yang melanda Semarang pada tahun 1917.
Beberapa petinggi SI Putih diantaranya adalah H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, mereka berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.
Jurang pemisah antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat munculnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme.
Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan.
Di samping itu Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam kebijaksanaan keuangan Tjokroaminoto.
SI Semarang juga sangat menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).
Post a Comment
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan Baik dan Sopan
1. Tidak diperkenankan menautkan Link Aktif di Kolom Komentar.
2. Dilarang beriklan dalam Komentar.
Komentar berkualitas dari anda sangat penting bagi kemajuan Blog kami.