Syafruddin Prawiranegara atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara
(ejaan lama) adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Bangsa dan Negara
Indonesia. Beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan, pernah menjabat sebagai
menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri, dan sebagai Ketua
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jabatan ketua PDRI ini bahkan
bisa dikatakan setingkat dengan jabatan presiden.
Masa Kecil dan Riwayat Pendidikan Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911. Ayahnya
adalah seorang jaksa yang berasal dari Banten. Ibunya berdarah Minangkabau,
masih memiliki garis keturunan Raja Pagaruyung yang dibuang Belanda ke Banten
karena terlibat Perang Paderi. Sewaktu kecil, Sjafruddin memiliki nama
panggilan "Kuding" yang diambil dari kata Udin pada nama Syafruddin.
Pendidikan Syafruddin diawali di ELS pada tahun 1925, kemudian pada tahun 1928
melanjutkan ke MULO di Madiun, dan pada tahun 1931 menempuh pendidikan AMS di
Bandung. Pada tahun 1939 menempuh pendidikan tinggi di Rechtshoogeschool
(Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), dan meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan
Magister Hukum).
Karir Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara pernah menjalani berbagai macam profesi dan jabatan
penting, yaitu :
- Pegawai siaran radio swasta, yang dijalani sampai tahun 1940.
- Bekerja di Departemen Keuangan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang dijalani sampai tahun 1942.
- Bekerja di Departemen Keuangan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia sampai dengan sebelum kemerdekaan.
- Selang beberapa hari setelah Indonesia merdeka, Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang dibentuk pada 29 Agustus 1945.
- Menteri Keuangan RI untuk masa jabatan 2 Oktober 1946 hingga 26 Juni 1947. Ketika menjabat sebagai menteri keuangan untuk yang kedua kalinya (6 September 1950 – 27 April 1951), ia menerapkan kebijakan moneter yang cukup kontroversial yang dikenal dengan sebutan “Gunting Syafruddin”.
- Menteri Pertanian sekaligus merangkap sebagai Menteri Perdagangan untuk masa jabatan 29 Januari 1948 hingga 4 Agustus 1949.
- Sebagai “presiden” atau ketua PDRI yang berlangsung selama 207 hari. Pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta, ia mengembalikan mandat kepada Sukarno, beberapa bulan sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda.
- Wakil Perdana Menteri 3 dalam Kabinet Hatta II yang berlangsung pada tanggal 4 Agustus 1949 hingga 20 Desember 1949.
- Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir sebelum berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI). Ia juga merupakan Gubernur BI pertama hingga 1958.
Kebijakan Moneter “Gunting Syafruddin”
Gunting Syafruddin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau sanering. Kebijakan ini diambil untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia yang sedang merosot. Pada 20 Maret 1950, semua uang yang bernilai 5 gulden ke atas dipotong nilainya hingga setengahnya.
Pemotongan uang dilakukan secara harfiah, artinya lembaran uang digunting
atau dibelah menjadi dua. Potongan pertama menjadi uang dengan nilai
setengahnya, sementara potongan kedua ditukar sebagai kupon obligasi negara.
Obligasi negara yang dipegang hanya bernilai setengah.
Obligasi ini akan dibayar negara 30 tahun kemudian dengan bunga 3 persen
setiap tahun. Kebijakan ini bertujuan mengatasi krisis ekonomi, seperti
mengatasi inflasi, mengurangi beban utang luar negeri, dan menanggulangi
defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar. Dengan kebijakan ini, jumlah dan
jenis uang yang beredar bisa berkurang.
Peranan Syafruddin Prawiranegara dalam PDRI
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Syafruddin
Prawiranegara, dibentuk di Halaban, Sumatra Barat, pada 22 Desember 1948.
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk
membentuk PDRI. Ketika itu Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda pada Agresi
Militer II, kemudian diasingkan ke Pulau Bangka.
Hatta yang telah menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda, segera
memberi mandat kepada Syafruddin untuk melanjutkan pemerintahan agar tidak
terjadi kekosongan kekuasaan. Hal ini dikarenakan, sesuai hukum internasional,
ketiadaan pemerintah adalah salah satu syarat sah sebuah negara akan hilang,
maka dengan begitu dibentuklah PDRI.
Syafruddin Prawiranegara yang memimpin negara ketika itu terus melakukan
gerilya. Pemerintahan darurat menyatakan Indonesia masih tetap ada secara de
facto dan de jure. Atas usaha PDRI, Belanda terpaksa berunding dengan
Indonesia.
Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, hingga akhirnya Soekarno dan
kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan
sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, serta
sejumlah menteri kedua kabinet. Pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta, terjadi
serah terima secara resmi pengembalian mandat dari PDRI kepada Presiden
Soekarno.
Peran Syafruddin Prawiranegara dalam PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) didirikan di Sumatra
Tengah pada awal tahun 1958. PRRI didirikan sebagai wujud ketidakpuasan
terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan
pengaruh komunis (PKI) yang semakin menguat. PRRI dibentuk bersamaan dengan
Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Indonesia timur yang sama-sama kecewa
terhadap pemerintahan RI saat itu, dan menuntut otonomi daerah yang lebih
luas.
Syafruddin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan membentuk Kabinet
tandingan sebagai jawaban atas dibentuknya kabinet Ir Juanda di Jawa, tetapi
PRRI tetap mengakui Soekarno sebagai Presiden PRRI, karena ia diangkat secara
konstitusional.
Mengutip dari tirto.id, Syafruddin Prawiranegara dalam pidatonya, dalam buku
Bung Karno Menggugat (2006) karya Baskara T. Wardaya (hlm. 113), mengatakan
bahwa, “Dengan kesedihan dan kesusahan yang mendalam, kita terpaksa
mengibarkan bendera menentang Kepala Negara kita sendiri. Kita telah bicara
dan bicara. Sekarang tiba saatnya untuk bertindak!”
Pada bulan Mei 1961, perlawanan PRRI akhirnya ditumpas. Para pemimpinnya
ditangkap atau menyerahkan diri. Presiden Soekarno memutuskan untuk mengampuni
mereka, termasuk Syafruddin Prawiranegara. Tak hanya menumpas PRRI, rezim
Soekarno kala itu juga membubarkan Partai Masyumi.
Partai politik berhaluan kanan ini diberangus karena dituding terlibat PRRI,
dan Syafruddin Prawiranegara merupakan salah satu petingginya. Keputusan
Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi
orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.
Amnesti yang dapat diartikan sebagai pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti yang diberikan untuk banyak orang dapat disebut sebagai amnesti umum. Abolisi dapat diartikan sebagai penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan. Abolisi diberikan kepada terpidana perorangan dan diberikan ketika proses pengadilan sedang atau baru akan berlangsung *indonesiabaik
Masa Tua Syafruddin Prawiranegara
Setelah peristiwa PRRI selesai, Syafruddin memilih meninggalkan dunia politik
dan beralih jalur ke jalan dakwah, kemudian menjadi pengurus Yayasan Pesantren
Islam dan Ketua Korps Mubalig Indonesia (KMI). Meskipun sudah tidak banyak
berhubungan dengan politik dan pemerintahan, namun Syafruddin melalui jalur
dakwahnya ini, berkali-kali dilarang naik mimbar oleh pemerintah.
Pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari
raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. Hal ini
dikarenakan isi ceramahnya dianggap meresahkan. Ia pernah menulis surat kepada
Soeharto yang menjadi presiden Indonesia waktu itu.
Syafruddin mempertanyakan kebijakan presiden yang dianggapnya tidak adil.
Syafruddin tidak setuju kehendak Soeharto yang ingin menjadikan Pancasila
sebagai satu-satunya asas ideologi bagi setiap organisasi kemasyarakatan di
Indonesia.
Kegiatan-kegiatan Syafruddin yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah, antar lain:
- Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen (1958)
- Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
- Ketua Korps Mubalig Indonesia
Syafruddin dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan
Indonesia, pernah menyusun sebuah buku Sejarah Moneter.
Akhir Hidup Syafruddin Prawiranegara.
Tanggal 15 Februari 1989, Syafruddin Prawiranegara meninggal dunia di Jakarta
pada usia 77 tahun. Jenazah Syafruddin Prawiranegara dimakamkan di TPU Tanah
Kusir.
Syafruddin Prawiranegara dalam sejarah Indonesia dapat dikatakan berdiri di
atas hitam dan putih. Ia pernah dianggap sebagai penyelamat Negara Indonesia
atas tindakannya ketika memimpin PDRI. Di sisi lain, ia juga dianggap sebagai
pemberontak ketika tergabung dalam PRRI. Apapun yang sudah terjadi kita tetap
tidak boleh melupakan jasa-jasa beliau atas perjuangannya dalam meraih dan
mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia.
Gelar Pahlawan Nasional Syafruddin Prawiranegara.
Pada tahun 2011, Syafruddin Prawiranegara dianugerahi gelar pahlawan
nasional dengan dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/2011 oleh Presiden Ke-6
RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada
Syafruddin Prawiranegara sebagai salah satu cara menghormati jasa-jasa
Syafruddin dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Sumber :
- Ricklefs, M. C. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
- tirto.id
- nasional.tempo.co
Post a Comment
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan Baik dan Sopan
1. Tidak diperkenankan menautkan Link Aktif di Kolom Komentar.
2. Dilarang beriklan dalam Komentar.
Komentar berkualitas dari anda sangat penting bagi kemajuan Blog kami.