Asal-Usul Dan Pendidikan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun adalah seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi, dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan/Pengantar).
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Asal-usul Ibnuu Khaldun menurut Ibnuu Hazm, seorang ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnuu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman. Nenek moyang Ibnuu Khaldun adalah Khalid bin Usman yang masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M.
Khalid bin Usman datang ke Andalusia karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnuu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla.
Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnuu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnuu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith.
Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M.
Nenek moyang Ibnuu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnuu Muhammad (kakek keempat Ibnuu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnuu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu.
Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnuu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnuu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnuu Khaldun baru berusia 18 tahun.
Pendidikan yang diperoleh Ibnuu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnuu Khaldun juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya.
Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnuu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnuu Khaldun meninggal dunia Ibnuu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnuu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnuu Khaldun mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya.
Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu:
- Kelompok bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra.
- Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu al-Qur’an.
- Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah.
- Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik.
Dalam sepanjang hidupnya Ibnuu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnuu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu.
Sehingga merupakan hal yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnuu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Sejarah.
Dalam buku Muqaddimah, Ibnuu Khaldun memulai pembahasannya tentang peran ilmu sejarah. Kemudian ia memaparkan kecerobohan para narator di dalam menukil peristiwa-peristiwa sejarah. Maka untuk memperluas pemahaman dan memperkecil kecendrungan penulisan sejarah yang tidak realible, Ibnu Khaldun melakukan renovasi terhadap cakupan sejarah yang terfokus sebelumnya pada peristiwa-peristiwa sekitar masalah kerajaan, militer maupun politik.
Dalam cakupan yang eksklusif ini sangat rentan terjadi manipulasi sejarah sehingga perspektif sejarah yang dikonsumsi ke tengah-tengah publik sangat plural, disebabkan oleh tradisi penulisannya yang kadangkala tendensius, condong kepada salah satu priode dari sebuah suksesi, atau karena kecendrungan pribadi seorang narator.
Para narator sebelum Ibnu Khaldun mengabaikan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan dan ekonomi, kecuali agamawan dan filosuf dengan tujuan nilai, atau para administrator pemerintah untuk tujuan opposit.
Banyak contoh yang ditunjukkan oleh Ibnuu Khaldun, misalnya yang berkaitan dengan jumlah kekayaan atau jumlah pasukan pada saat melakukan ekspansi. Hal ini dapat dipahami karena tradisi penulisan klasik jauh dari sandaran kaedah-kaedah habitual, karakter populatif, maupun kondisi sosial itu sendiri.
Sejarah menurut Ibnu Khaldun memiliki fungsi multi dan tujuan mulia, karena dengan sejarahlah kita mengenal kondisi bangsa-bangsa terdahulu dalam segi prilaku serta moral politik raja-raja dan penguasa. Generasi yang ingin merefleksikan prilaku dan mengambil sampel-sampel positif dari pola hidup mereka sangat memerlukan referensi dari keragaman sumber informasi peristiwa yang akurat dan realiable (dapat dipercaya).
Kemudian pembukuan sejarah menurut Ibnu Khaldun bukan untuk mendokumentasikan persoalan-persoalan keagamaan, mendekatkan diri kepada penguasa, dan bukan sekedar dikonsumsi sebagai bidang ilmu, tetapi untuk mengenal peristiwa-peristiwa masa lampau dalam rangka memahami masa yang akan datang.
Rekonstruksi pemahaman ini sebenarnya telah menempatkan peran sejarah sebagai i'tibar atau cermin obyektif untuk menelaah sikap. Hanya saja pada awalnya eksistensi sejarah bagi Ibnu Khaldun tidak tampak sebagai realita, sehingga ia melontarkan pertanyaan tentang apa topik ilmu sejarah yang sebenarnya.
Jawaban atas pertanyaan ini diperolehnya kala melakukan pencarian metodik tentang ukuran-ukuran valid atau tidaknya suatu berita. Dalam hal ini ia menggagas tentang perlunya merujuk kepada tempat peristiwa kemudian dipautkan sebagai korelasi dengan masyarakat yang mengitarinya.
Jelasnya topik sejarah menurut Ibnuu Khaldun adalah studi sosial, dengan kata lain mempelajari dinamika masyarakat secara integral berikut sebab-sebabnya. Dan dinamika sejarah menurut Ibnuu Khaldun bukan muncul dari luar, tetapi proses sosial itu sendiri dengan segala aturannya yang exact-alami. Dari perspektif inilah Iplacoste berpendapat bahwa Ibnuu Khaldun merupakan pelopor dalam meletakkan dasar-dasar "materialisme historis ".
Barangkali gagasan Ibnu Khaldun mengenai muatan kronik-kronik liner sejarah telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi penulisan sejarah yang berdasarkan kategori norma-standar kebenaran (berita), sehingga sejarah tidak lagi tampak bagai mitos yang dibuat orang.
Pada abad 14 Ibnu Khaldun menulis sejarah universal yang mengungkapkan secara luar biasa mengenai kemampuan pembelajaran yang menyusun teori umum untuk perhitungan perkembangan politik dan sosial selama berabad-abad. Dia adalah seorang sejarawan muslim satu-satunya yang menyarankan alasan sosial dan ekonomi bagi perubahan sejarah, meskipun dibaca dan dikopi pekerjaannya, tetap tak mengahasilkan pengaruh yang efektif hingga mendorong pemikiran Barat yang baru diperkenalkan pada abad 19.
Hampir semua kerangka konsep pemikiran Ibnuu Khaldun tertuang dalam al-muqadddimah. Al-muqaddimah merupakan pengantar dalam karya monumentalnya al-Ibar wa Diwan al-Mubtada al-Khabar fi Ayyami al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-barbar wa Man ‘Asarahum min Dzawi as-Sultan al-Akbar (“Kitab Contoh-contoh Rekaman tentang Asal-usul dan Peristiwa Hari-hari Arab, Persi, Berber, dan Orang-orang yang Sezaman dengan Mereka yang Memiliki Kekuasaan Besar”) atau biasa orang menyebut, al-Ibar.
Di al-muqaddimah tersebut, Khaldun menerangkan bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat manusia atau perdaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang terjadi, perihal watak manusia, seperti keliaran, keramahtamahan, solidaritas golongan, tentang revolusi, dan pemberontakan-pemberontakan suatu kelompok kepada kelompok lain yang berakibat pada munculnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan tingkat yang bermacam-macam. Tentang pelbagai kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun kegiatan mereka dalam ilmu pengetahuan dan industri, serta segala perubahan yang terjadi di masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pengertian Sejarah Universal (atau dunia) yang menginginkan pemahaman atas keseluruhan pengalaman kehidupan masa lampau manusia secara total untuk melihatnya pesan-pesan perbedaan pada pesan yang berguna bagi masa depan.
Dua masalah yang mendominasi penulisan sejarah universal, pertama ketersediaan kuantitas bahan dan keberagaman bahasa di mana di dalamnya tertulis mengimplikasikan bahwa sejarah universal mengambil bentuk kerja kolektif atau menjadi sejarah tangan kedua.
Kedua, prinsip dari seleksi yang dihubungkan dengan pemilihan studi untuk membentuk taksonomi sejarah yang sesuai. Unit-unit tersebut secara geografis (misal benua), periode, tahap perkembangan atau struktur, peristiwa penting, saling berhubungan (misalnya komunikasi, perjuangan bagi kekuatan dunia, atau perkembangan sistem ekonomi dunia), peradaban atau kebudayaan, kekaisaran dan negara bangsa, atau komunitas terpilih. Sejarah universal telah ditulis terutama oleh sejarawan Barat atau sejarawan dari Asia Barat termasuk Ibnuu Khaldun.
Khaldun bahkan memerinci bahwa ekonomi, alam, dan agama merupakan faktor yang memengaruhi perkembangan sejarah. Meski punya pengaruh, faktor ekonomi, alam dan agama bagi Khaldun bukan satu-satunya faktor yang menentukan gerak sejarah. Ia mengatakan bahwa: "Keadaan alam, bangsa-bangsa, adat istiadat, dan agama tidak selalu berada dalam alur yang sama.
Semua berbeda sesuai dengan perbedaan hari, masa, dan perlahian dari suatu keadaan ke keadaan lain. Perbedaan itu berlaku pada individu-individu, waktu, dan kota seperti halnya berlaku pada seluruh kota, masa dan negara. Salah satu sumber kesalahan dalam penulisan sejarah adalah pengabaian terhadap perubahan yang terjadi pada zaman dan manusia sesuai dengan berjalannya masa dan perubahan waktu.
Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam bentuk yang tidak kentara, lama baru dapat dirasakan, sehingga sukar dilihat dan diketahui beberapa orang saja." Pendek kata, bagi Khaldun, ekonomi, alam, dan agama merupakan kesatuan yang memengaruhi gerak sejarah.
Teori siklus gerak sejarah sebagaimana yang dia pikirkan didasarkan pada adanya kesamaan sebagian masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Teori ini sebenarnya merupakan tafsir atas pemikiran Khaldun, Khladun sendiri sebenarnya tidak menyampaikannya secara eksplisit. Satu hal yang disampaikan Khaldun secara eksplisit adalah pemikirannya tentang sejarah kritis.
Menurut Khaldun, apabila demikian halnya, maka aturan untuk membedakan kebenaran dari kebatilan yang terdapat dalam informasi sejarah adalah diasarkan kemungkiknan atau ketidakmungkinan. Apabila kita telah melakukan hal demikian, maka kita telah memiliki aturan yang dapat dipergunakan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan dan kejujuran dari kebohongan dalam informasi sejarah.
Cara untuk membedakannya yaitu menggunakan cara yang logis, apabila kita mendengar tentang suatu peristiwa sejarah yang terjadi dalam peradaban, maka kita harus mengetahui apa yang patut diterima akal dan apa yang merupakan kepalsuan. Hal ini merupakan ukuran yang tepat bagi kita, yang dapat dipergunakan oleh para sejarawan untuk menemukan jalan kejujuran dan kebenaran dalam menukilkan peristiwa sejarah.
Pemikiran Khaldun tentang sejarah kritis ini merupakan satu pemikiran yang melandasi pemikiran modern orang Eropa tentang sejarah pada periode selanjutnya. Jean Bodin (1530-1596), Jean Mabilon (1632-1707), Betrhold Georg Niebur (1776-1831), hingga Leopald van Ranke (1795-1886), memiliki pemikiran yang sejalan dengan Ibnu Khladun.
Dari sini kita bisa tahu bahwa Ibnu Khaldun adalah perkecualian. Ia bukan saja pemikir yang selalu berpikir tentang hal-hal yang abstrak melainkan pemikirannya berasal dari tanah tempat di mana dia berpijak. Memahami pemikiran Ibnu Khaldun sama halnya memahami pemikiran seorang Islam yang berani mengkritik bangsanya.
Sebagai ilmuan yang juga sejarawan, Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang.
Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati. Walaupun di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnuu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar.
Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat. Sementara itu Ibnuu Khaldun melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu pendidikan.
Metode yang ditawarkan Ibnuu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan.
Referensi:
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Jakarta: Grafiti Press, 1985
Post a Comment
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan Baik dan Sopan
1. Tidak diperkenankan menautkan Link Aktif di Kolom Komentar.
2. Dilarang beriklan dalam Komentar.
Komentar berkualitas dari anda sangat penting bagi kemajuan Blog kami.