Desa A.H. Nasution terdiri dari tiga kampung, yakni kampung Huta Pungkut Jae (Hilir), Huta Pungkut Tonga (Tengah), dan Huta Pungkut Julu (hulu). Kampung halaman A.H. Nasution dilihat dari segi geografisnya dikelilingi oleh barisan-barisan gunung, serta lembah dengan sungai-sungainya. Berdasarkan kondisi alamnya, kebanyakan masyarakat mata pencahariannya mengandalkan dari bercocok tanam sekaligus pedagang.
Ayahnya seorang pedagang tekstil, kelontong atau karet dan kopi yang dijual pada pedagang-pedagang Cina di Padang Sidempuan, Sibolga, Bukittinggi atau Padang. Selain itu ayah A.H. Nasution juga salah seorang pengagum perjuangan kebangkitan Islam dan kebangkitan Turki. Hal ini terbukti dengan dijadikannya gambar Kemal Pasha sebagai satu-satunya hiasan dinding dirumahnya.
Hiburan atau kesenangan anak-anak mudanya ialah bersepak bola, lapangannya adalah sawah yang sudah panen dan bolanya biasanya adalah hanya sebuah kulit jeruk bali yang besar-besar. Desa A.H. Nasution terkenal diseluruh wilayah sebagai desa maju usahanya, dan pedagang-pedagang Huta Pungut adalah unggul di pekan-pekan tersebut. Distrik A.H. Nasution terkenal dengan banyak sekolah dan banyak pergerakan politiknya. Tiga orang dari 6 Gubernur Sumatra Utara sejak republik ini berdiri, adalah 3 dari distrik A.H. Nasution.
Desa A.H. Nasution juga terkenal sebagai desa pelopor pergerakan politik di masa kolonial. Di masa kebangkitan nasional telah ada Sarekat Islam yang selalu dibanggakan oleh Ayahanda A.H. Nasution. Berbagai jenjang pendidikan telah dilewatinya, A.H. Nasution memperoleh ijasah pada Sekolah Guru (HIK) (lihat lampiran 2), Sekolah Menengah Atas (AMS) dan dalam bidang militer dari Akademi Militer (KMA).
Ketika A.H. Nasution masih kecil, keinginan dari kakek dan neneknya, supaya A.H. Nasution kelak menjadi guru pencak silat seperti kakeknya, hal itu bertentangan dengan keinginan dari Ayahnya. Ayah A.H. Nasution ingin supaya A.H. Nasution sehabis sekolah dasar, mengutamakan kesekolah agama dan ibunya ingin supaya A.H. Nasution sekolah di sekolah umum , yang waktu itu disebut dengan sekolah “Belanda” mengikuti jejak almarhum kakaknya yang sekolah dokter di Betawi.
A.H. Nasution sekolah di HIS di Kotanopan, yang jauhnya 6 km dari kampung Huta Pungut. Tiap hari naik bendi (delman) bersama 5 orang saudara sepupunya kesekolah dan pulang pukul 14.00 atau 15.00 kembali kerumah, dan setibanya di rumah melanjutkan aktivitasnya pergi ke madrasah untuk mengaji sampai pukul 18.007. Tahun 1932 A.H. Nasution tamat sekolah HIS dan melanjutkan di “Sekolah Raja” (HIK) Bukittinggi, yaitu Sekolah Guru. Pada waktu mengikuti pendidikan guru di HIK, ia berkeinginan untuk masuk ke akademi militer.
A.H. Nasution mulai tertarik untuk menjadi seorang tentara militer. Keinginan untuk masuk dan menjadi prajurit militer bersumber dari inspirasi dimana A.H. Nasution telah banyak membaca buku tentang perjuangan-perjuangan luar negeri. Seperti contohnya sesosok tokoh Kemal Attaruk sang pemimpin Turki yang membawa negeri dan bangsanya kearah yang lebih maju. Selain itu tokoh Napoleon Bonaparte yang mengisahkan revolusi Perancis menjadi darah muda A.H. Nasution terbakar oleh semangat perjuangan. Itulah sebabnya keinginannya untuk masuk ke sekolah militer sangat kuat. Akan tetapi untuk masuk ke akademi militer tersebut harus mempunyai ijazah sekolah AMS atau setara dengan SMU kalau sekarang.
Tiap tahunnya hanya satu orang saja yang dapat diterima itupun hanya berasal dari keluarga-keluarga pamong praja serta keluarga yang sedang berdinas terhadap Belanda. Didorong keinginan yang sangat kuat, meskipun belum lulus HIK, A.H Nasution mencoba untuk mengikuti ujian AMS. Dalam waktu yang bersamaan ia berhasil memperoleh dua ijazah sekaligus.
Pada tahun 1935 A.H. Nasution memulai satu langkah lagi, yakni meninggalkan Sumatera untuk sekolah di Bandung, pindah ke pulau lain dan bagi A.H. Nasution untuk pertama kalinya mengalami perjalanan laut. Karena pada masa itu di Sumatera belum ada Sekolah Menengah Atas, karena itu harus pergi ke Pulau Jawa.
Pada masa tengah tahun selalu banyak pemuda yang bertolak dari Padang ke Jawa Barat dengan kapal KPM, maskapai monopoli Belanda. Perjalanan dari Padang-Tanjung Priok berlangsung 4 hari 4 malam, dan terhenti setengah jam di depan Indrapura, Bungkulu dan Kroe.
Pada tahun 1940 setelah pecah Perang Dunia II di Eropa, pemerintah Hindia-Belanda menderita kekalahan dan kerugian di bawah kekuasaan Jerman. Belanda memiliki KMA (Koninklijke Militaire Academi) di Breda, yang terletak di bagian selatan negeri itu. Karena Belanda diduduki oleh Jerman, maka akademi serupa diadakan di Bandung untuk menghadapi tentara Jepang.
Pemerintah Hindia-Belanda membutuhkan perwira cadangan, maka kemudian didirikan Corps Ofleiding Reserve Officieren (CORO) yang memberikan kesempatan pada pemuda-pemuda Indonesia yang memiliki ijazah AMS untuk dididik menjadi perwira cadangan militer. Pemerintah kolonial Belanda mengadakan suatu proses secepatnya guna mengisi kebutuhan akan perwira-perwira.
Pada tingkatan pertama semua menjadi milisi biasa. Selanjutnya akan diseleksi yang terpilih kemudian menjadi bintara-bintara milisi. Selanjutnya diseleksi lagi untuk manjadi taruna-taruna tingkat kedua akademi serta menjadi Vaandrig Milisi (calon perwira cadangan dengan pangkat Pembantu Letnan, dari tingkat Vaandrig Milisi dipilih untuk menjadi Taruna Akadem Militer III. Di Breda landasan teoritis diberikan tahun pertama dan tahun kedua, sedangkan praktek pada tahun ketiga. Namun di Bandung sejak pertama diberikan sekaligus teori dan praktek agar setiap saat bisa terjun ke medan perang.
A.H. Nasution mengikuti pendidikan di CORO, dan setelah selesai sebagai Taruna Akademi Militer (KMA) pada tingkat II dengan pangkat Sersan Taruna. Di sekolah ini, A.H. Nasution mempelajari seluk beluk dan teknik kemiliteran. A.H. Nasution merupakan salah satu siswa yang pandai dan cakap dalam menerima pelajaran sehingga ia cepat naik pangkat Pembantu Letnan Taruna.
Masuknya A.H. Nasution Dalam Dunia Militer
A.H. Nasution memang sudah digariskan untuk menjadi seorang perwira yang berjuang untuk membela, mempertahankan, dan membebaskan negeri ini dari kolonialisme. Meskipun cita-citanya dari kecil untuk menjadi seorang guru, yang mengamalkan ilmunya lewat dunia pendidikan, dengan berjalannya waktu dan tumbuh pemikirannya, akhirnya A.H. Nasution memilih untuk menjadi seorang perwira yang berjuang untuk merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.Pada waktu itu, untuk seorang guru sangat dihormati di mata masyarakat. Keinginan itu didorong sepenuhanya oleh kedua orang tuanya dalam memasuki sekolah guru yang bernama Sekolah Raja. Setelah lulus dari Sekolah Raja, A.H. Nasution bekerja dan menerapkan ilmu yang diperolehnya dengan menjadi guru partikelir di Bengkulu dan di Muara Dua dekat Sumatera Selatan pada tahun 1937.
Pada perkembangannya kondisi pekerjaan dirasakan kurang memuaskan bagi A.H. Nasution. Dengan hanya memiliki dua tenaga pengajar yang harus memberi pelajaran serta mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah ditambah lagi dengan hubungannya dengan pengurus sekolah tidak begitu lancar membuat A.H. Nasution memutuskan berhenti. Selain dari faktor tersebut A.H. Nasution juga semakin menyadari bahwa profesi seorang guru belum sesuai dengan keinginannya. Ia berkeinginan untuk menjadi seorang militer sejati. Pada dasarnya jiwa A.H. Nasution adalah jiwa seorang militer.
Masuknya Jepang ke Indonesia, mempunyai kesempatan untuk melakukan propaganda akibat meletusnya Perang Dunia II, untuk memerdekakan negara-negara di Asia dari penjajahan Barat. Dengan alasan untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Bangsa-bangsa di Asia percaya terhadap Jepang untuk bisa mengusir kolonialisme barat sangat besar termasuk Indonesia. Kepercayaan ini pula yang menjadikan dinas rahasia Jepang dapat mengadakan front dalam negeri untuk menikam Belanda. Dengan demikian secara tidak langsung dimulailah kolonial Jepang menggantikan kolonial Belanda atas Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang dibentuk ketentaraan teritorial yang disebut dengan Pembela Tanah Air (PETA). Anggota PETA sendiri dari kalangan pribumi yang ingin membela dan mempertahankan bangsa bersama Jepang. Itu merupakan siasat dari Jepang untuk menambah kekurangan pasukan Jepang karena kekalahan pada perang melawan sekutu. A.H. Nasution menjadi salah satu anggota Badan Pembantu Prajurit yang tidak dipersenjatai. Badan ini bertugas untuk membantu kesejahteraan prajurit PETA dengan pimpinan Otto Iskandardinata dengan mempunyai wilayah tugas yang diemban pada A.H. Nasution meliputi Jakarta, Semarang, Solo, dan Surabaya.
Kariernya dalam militer perlahan tapi pasti terus berkembang dalam masa-masa yang bergejolak. Ketika bangsa ini mencapai kemerdekaan pada 1945, A.H. Nasution merupakan Kolonel Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat. Pada tahun 1945-1946 itu pula kemudian A.H. Nasution sebagai Kolonel Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Panglima Divisi III TKR (Priangan).
Pada tahun 1943, A.H. Nasution bekerja sebagai pegawai Kotapraja Bandung dan menjabat sebagai Pimpinan Barisan Pemuda dan Wakil Komandan Batalyon Barisan Pelopor. Ketika bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, A.H. Nasution merupakan Perwira Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat. Kemudian beliau mendapatkan kepercayaan untuk menggantikan Kolonel Aruji sebagai Panglima Divisi III TKR yang meliputi wilayah seluruh Priangan ditambah wilayah Sukabumi dan Cianjur. A.H. Nasution membawahi Resimen 8 dan 9 sehingga kelaskarannya menjadi lebih kuat.
Pada tahun 1946 dan 1948 jabatan A.H. Nasution naik sebagai Mayor. Divisi Siliwangi yang merupakan gabungan dari Divisi I, Devisi II, dan Divisi III. Dalam kurun tahun 1947-1948 A.H. Nasution telah memimpin perang gerilya Jawa Barat melawan Agresi Militer Belanda I. Selama menjabat sebagai Mayor Jendral, A.H. Nasution menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) merangkap sebagai Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang dan mewakili tugas Panglima Besar Jenderal Sudirman karena pada saat itu beliau dalam keadaan sakit.
Pada tahun 1949, A.H Nasution mendapat kepercayaan lagi untuk menjabat Kepala Staf Angkatan Darat Republik Indonesia Serikat (KSAD RIS) dengan pangkat Kolonel sampai dengan tahun 1952. Pada tahun 1952 beliau sempat dinonaktifkan sebagai KSAD setelah peristiwa 17 Oktober 1952.
Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan dimana A.H. Nasution memimpin tentara mengadakan Show of Force yakni dengan mengepung istana kepresidenan dengan persenjataan lengkap. Karena peristiwa tersebut, A.H. Nasution dianggap melakukan kudeta. Didalam petisi tersebut, A.H. Nasution menginginkan ketegasan dari Presiden Sukarno dan membubarkan parlemen yang pada waktu itu tidaklah stabil. Setelah masalah intern TNI AD itu selesai tahun 1955, A.H. Nasution diangkat kembali menjadi KSAD.
Pada tahun 1958-1960 terjadi kemelut mengenai Irian Barat. A.H. Nasution menjadi salah satu anggota yang bergabung dalam Anggota Dewan Nasional dan Ketua Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Dan pada tahun 1958 pula, A.H. Nasution diangkat sebagai Letnan Jendral. A.H. Nasution menapaki karier dan pekerjaannya, secara setapak demi setapak sampai akhirnya ia mencapai pangkat tertinggi dalam karier kemiliterannya.
Selain di dunia militer, A.H. Nasution juga mempunyai karier dalam bidang politik. Hal ini bisa dilihat dari kedudukannya yang sangat strategis di bidang politik. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional, Ketua Panitia Penyusun Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara, anggota Panitia Perumus Dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945, panitia Tiga Menteri Pelaksanaan Penpres Tujuh tentang Penyederhanaan Kepartaian, anggota Panitia Enam untuk Regrouping Kebinet Kerja, anggota Penyusunan MPRS, Ketua Panitia Retooling aparatur Negara, Wakil Ketua Pengurus Besar Front Barat, Anggota MPRS, dan Ketua MPR.
Riwayat Karir A.H Nasution
A. Masa Hindia-Belanda | 1939-1940 | Menjadi Guru di daerah Bengkulu kemudian di daerah Palembang Sumatera Selatan |
1940-1942 | Cadet Vaandrig Pembantu Letnan/Taruna, Perwira Batalyon Inf. III Surabaya (pada saat Pendaratan Tentara Jepang di Indonesia) | |
B. Masa Pendudukan Jepang | 1943-1945 | Bekerja sebagai Pegawai Kotapraja Bandung |
C. Masa Republik Indonesia
| 1945 | Kolonel. selama setengah bulan menjabat sebagai Kepala Staf Komandan Jawa Barat, kemudian menjadi Panglima divisi III/TKR (Priangan). |
1946 | Panglima Divisi I Siliwangi (Jawa Barat), kemudian dengan sukarela menurunkan pangkat satu tingkat menjadi Kolonel. | |
1948 | Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Kemudian terjadi penurunan pangkat setingkat dalam TNI yaitu Kolonel. | |
1948-1949 | Menjabat sebagai Panglima Komando Jawa. | |
1949-1950 | Kepala Staf Angkatan Darat RIS. | |
1950-1952 | Kepala Staf Angkatan Darat RI. | |
1952 | Berhenti menjadi KSAD. | |
1955 | [1] Terpilih menjadi anggota Konstituante. [2] Mayor Jendral, Diangkat kembali menjadi KSAD. [3] Ketua GKS (Gabungan Kepala Staf). | |
1958 | Letnan Jendral. Anggota Dewan Nasional, mengusulkan dengan lisan, untuk kembali ke UUD 1945. | |
1959 | Menteri Keamanan Nasional/ Menko Hankam/ KASAB. | |
1960 | Jenderal, Anggota MPRS. | |
1962 | [1] Wakil Panglima Besar Pembebasan Irian Barat. [2] Berhenti Menjadi KSAD. Diangkat sebagai KSAB, di samping tetap menjadi Menteri Koordinator Hankam. [3] Berhenti sebagai Wakil Panglima Besar Pembebasan Irian Barat berhubung jabatan tersebut dihapuskan. | |
1965 | Sebentar diangkat kembali menjadi Wakil Panglima Besar, setelah terjadi G.30.S kemudian jabatan tersebut dihapuskan lagi. | |
1966 | [1] Februari 1966, setelah TRITURA (Aksi KAMI), diberhentikan sebagai Menko Hankam / KASAB (jabatan-jabatan tersebut dihapuskan oleh Presiden. [2] Setelah SUPER SEMAR dan diadakan pembaruan Kabinet, diangkat kembali sebentar sebagai Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (KOGAM). | |
1966-1972 | Menjabat sebagai Ketua MPRS. | |
1997 | Mendapat anugerah Pangkat Kehormatan Jenderal Bintang Lima. |
Dalam sejarah TNI Angkatan Darat, hanya terdapat 3 orang yang diberi kehormatan menggunakan pangkat Jendral Besar (Bintang Lima) atas jasa-jasanya yang sangat besar. Mereka adalah:
- Jenderal Besar Soedirman;
- Jenderal Besar A.H. Nasution; dan
- Jenderal Besar Soeharto.
Demikian, semoga bermanfaat.
Baca juga
Solichin Salam, 1990, A.H. Nasution: Prajurit, Pejuang, dan Pemikir, Jakarta: Penerbit Kuning Mas
Bachtiar, Harsja W. (1998). Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Wikipedia : Abdul Haris Nasution
gambar A.H Nasution (berkas Wikipedia Abdul Haris Nasution)
1 Comments
Jendral AH Nasution banyak berjasa
ReplyDeletePost a Comment
Silahkan berkomentar dengan Baik dan Sopan
1. Tidak diperkenankan menautkan Link Aktif di Kolom Komentar.
2. Dilarang beriklan dalam Komentar.
Komentar berkualitas dari anda sangat penting bagi kemajuan Blog kami.